Senin, 05 Februari 2018

MENJADI IBU BAHAGIA

Dalam sebuah postingan saya membaca (lupa dari blog siapa) yang berbunyi, jika Ibu ingin bahagia, maka bekerjalah. Begitu katanya.

Memang itu hanya pendapat pribadi, karena takaran bahagia setiap orang adalah tak sama. Tapi kembali lagi ke definisi bahagia itu sendiri serta tujuan pernikahan apakah yang ingin ia capai.

Kalau saya pribadi, sebagai ibu, apakah yang membuat saya bahagia? Banyak hal. Dan saya menyadari bahwa suatu kesenangan atau kebahagiaan pasti disertai dengan kesedihan/kesusahan. Maksud saya, seperti halnya memelihara kucing. Tahu kan, melihat kucing yang lucu membuat kita merasa bahagia. Namun disamping itu, kucing punya pup yang bau dan kadang kala ia mencakar kursi cantik kita. Begitu pula ketika memiliki suami. Kita suka saat suami romantis, baik dan segala hal yang menyenangkan darinya, tapi ia juga pasti punya sisi-sisi yang tak kita sukai. Mungkin ia pelupa, teledor, jorok, atau sebagainya. Begitu pun anak, pasti kita bahagia melihat mereka sehat, manis, dan menuruti kita. Namun ada pula sisi dibalik itu yang menyebalkan, ketika mereka pup dan pipis tidak pada tempatnya atau saat mereka sakit, kita pun ikut lelah memikirkannya.

Maksud saya, kebahagiaan yang kita dapat sudah sepaket dengan kesusahan/kesedihan. Kita tidak dapat memilih hanya yang enak-enaknya saja, betul?

Kembali ke topik awal, kenapa menjadi ibu bekerja bisa membuat bahagia? Ini kembali ke pribadi masing-masing. Saya sendiri pernah bekerja(sebelum menikah). Dan saya mengatakan bahwa menjadi ibu rumah tangga lebih asyik. Serius dan bukan bercanda ya. Menjadi ibu rumah tangga sangat fleksible dan saya suka itu.

Jadi ketika ibu merasa ingin bahagia dengan bekerja, itu jadi tanda tanya besar. Apa tujuan ia menikah? Kembali lagi ke awal, apakah pernikahannya punya visi dan misi? Apa yang ia inginkan dari keluarganya?

Maksud saya, jika ia punya visi untuk menjadi keluarga qurani misalnya, atau keluarga hafidz quran misalnya, berarti menjadi ibu pekerja bukanlah pilihan tepat, karena untuk mempunyai anak hafidz quran, orang tua harus aktif juga dalam kegiatan menghafal tersebut, dan saya rasa jika disambi dengan kerja kantoran rasanya agak sulit. 

Tidak semua keluarga punya visi dan misi atau rencana tahunan yang terperinci. Situasi ini kerap membuat ibu menjadi galau. Sering jenuh dan berpikir tentang keinginan untuk bekerja. 

Kembali ke definisi bahagia. Bahagia yang bagaimanakah yang kita inginkan. Mungkin kalimat ini klise, yaitu, kebahagiaan di dunia adalah fana. Suka atau tidak suka ini adalah fakta yang nyata.

Agar ibu bahagia ia harus bekerja? Benarkah? Jika bahagia di sini maksudnya adalah ibu bisa punya waktu untuk dirinya sendiri, waktu untuk bersosialisai, waktu untuk jauh dari kesusahan mengurus anak-anak, waktu untuk bisa kongkow dengan teman kerja, dsb, menurut saya baiknya ibu ini seharusnya tidak menikah. Harusnya ia tetap jomblo dan ia bisa sepuasnya jalan-jalan di mall serta melanglang buana seorang diri travelling ke berbagai negara dan selfi di penjuru dunia. Ini adalah kebahagiaan yang dimaksud, bukan?

Ibu yang bekerja hanya untuk mencari 'kebahagiaan' menurut saya ia mungkin sedang gagal fokus. Ketika seorang perempuan menikah dan berjanji dengan nama Allah, maka fokusnya adalah mengurus suami dan anak. Betul? 

Jika hanya mencari kebahagiaan yang seperti itu, mari kita coba tanyakan pada rakyat palestina. Ngapain mereka di palestina? Padahal mereka bisa 'bahagia' jika hidup di negeri yang lain, pindah ke indonesia beranak pinak dengan bahagia tanpa harus melihat anak mereka mati satu-persatu. Trust me, jika kebahagiaan kita bersandar pada kebahagiaan dunia, maka tak ada kebahagiaan yang bisa memuaskan kita.

"Seandainya anak Adam diberi satu lembah yang penuh emas niscaya dia ingin lembah yang kedua, dan jika diberikan kepadanya dua lembah yang berisi emas niscaya dia akan mencari lembah yang ketiga. Tidak akan puas perut anak adam kecuali disumbat dengan tanah dan ALLAH mau menerima taubat orang yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari)

Ketika kita menikah, nilai kebahagiaan seharusnya bukan lagi soal ke salon, kongkow, travelling dan lain sebagainya. Kebahagiaan yang kita kejar bukan lagi soal dunia, tapi soal yang lebih serius, yaitu kebahagiaan di surga. seperti bahagia saat pasangan dan anak-anak menjadi soleh/soleha, sholat tepat waktu dan rajin menghapal Alquran.

Kebahagiaan dunia masih bisa kita lakukan, namun turunkan standarnya, jangan sampai mengganggu usaha kita dalam mencapai kebahagiaan surga. Ketika keinginan ingin bahagia dengan travelling, turunkan standarnya, menjadi hanya jalan-jalan ke alfamart. Keinginan untuk bekerja kantoran bisa kita ubah menjadi bekerja secara online. Kita tak perlu jauh dari rumah. lalu bagaimana keinginan untuk kongkow-kongkow di cafe dan haha hihi dengan teman-teman?? Lihat dulu urgensinya, jika tidak bermanfaat lebih baik tidak usah dituruti keinginan yang ini. Lebih baik pertemuan dengan teman harus jelas agendanya karena kita akan meninggalkan rumah dan mungkin anak juga dalam waktu berjam-jam.

Pernikahan adalah Mitsaqan Gholidzo (perjanjian berat) dan bukan main-main. Jika kita sudah mantap untuk menikah, harusnya mantap juga untuk menjadi istri dan ibu yang siap mengurus anak. Walau pada awalnya tidak mahir dalam segala hal, setidaknya terus mencoba lebih baik dan tidak justru jenuh dan menyerah. 

Allah menitipkan anak kepada kita, lalu kenapa kita harus menitipkannya lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komen dong dong

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.