Jumat, 24 Juli 2020

Matahari Sore itu


Annyeong haseyo, Lalisa imnida!
Kembali lagi di postingan jam 1 pagi bersama blekping di mari. Jadi sedari tadi gua ngubek-ngubek seantero youtube, mencari sebuah lagu dari tumpukan kenangan di masa lampau. Mungkin sepuluh tahun yang lalu. Ada apa ya dengan tahun itu, keknya banyak banget hal yang mengganjal di sana.

Jadi akhirnya setelah memusatkan memori jangka baheula yang entah dengan ilmu apa, akhirnya sampai juga ke ingatan yang dicari, sebuah lagu yang ternyata adalah lagu soundtrack anime. Yang mana, lagu ini sempat nyangsang di iPod gua kala itu. iPod pemberian Nyai Loreng Zeriana (konon katanya sangat terlarang menuliskan sepotong nama ini, takut terindeks gugel dan lalu ditemukan oleh mantan-mantannya yang berserakan itu yang tak mampu move-on dari Nyai ini). Ya, iPod pemberian Nyai yang telah terisi lagu-lagu dari jepang sana, yang aku tak tahu, tapi enak didengar.

Di antara lagu itu, gua menemukan satu lagu yang saat itu gua rasakan sangat cocok dengan suasana saat itu. Saat itu gua sedang melihat matahari sore. Seperti di foto itu. Dari lantai atas gedung asrama 10 lantai itu (kalau enggak salah inget).

Saat itu gua sedang di masa-masa menyusun tugas akhir yang mana gua juga nggak nyangka semua perkuliahan saat itu akan tamat juga nasibnya. Padahal berkuliah di sana diawali dengan galau yang membuat waktu rasanya berjalan lambat seperti keong kesurupan (gua nggak tau apa hubungannya, gua hanya ingin membuat ini dramatis).

Dan lagu itu menjadi soundtrack penutup kegalauan gua juga kala itu. Lagu Namida wa Shitteiru itu jadi pengingat gua akan suasana sore jelang maghrib yang gua habiskan sendirian menatap senja ala-ala anak indie, minus gitar dan puisi. Saat itu gua bahkan bercita-cita menamakan anak gua dengan nama Senja. Alhamdulillah kaga kesampean. 

Entah gua pernah menuliskan tentang ini atau enggak. Kalau pun pernah, mungkin memang momen itu memang berarti untuk gua. Memang momen sendirian di dek gedung itu sangat campur aduk sekali perasaannya. Semacam bertemu orang yang lu benci, selama tiga tahun menderita bersamanya, tapi ketika mesti berpisah, ternyata semua kenangan lu saat bersama, begitu berarti. (Perlu genjreng gitar gak nih).

Mungkin itu perasaan gua saat kuliah di situ. Merasa menderita dan berharap cepat lulus. Tapi ternyata pas beneran harus udahan, perasaan hampa. Dan memang sampai sekarang tiga tahun di sana menyisakan kenangan indah aja untuk gua. Mungkin karena teman-teman yang gua temui di sana. Gua juga pernah ungkapkan ini saat perpisahan di pantai Carita (eh bener gak sih gua perpisahan di situ?). Saat itu gua juga bilang bahwa teman-teman semua di sana yang membuat gua bisa kuat menjalani jurusan yang enggak gua banget itu. Gua waktu itu ngomongnya sambil nangis. Mungkin temen-temen bingung, ngapa nih bocah nangis. Dah mana gua kalo nangis ya jadi nggak jelas ngomongnya. Semacam "Saya berterimakasih heuhue pada heuheu teman heuheu brooottt," (nyedot ingus).

Dan saat ini, 10 tahun kemudian. Lalu semua instagram teman gua punya, tapi dah kayak teman asing aja, jarang bertegur sapa, hanya jadi story viewer setia. Semua dah kayak teman yang 10 tahun pisah aja (LAH KAN EMANG IYA YEONTAN). 

Masa lalu kalau dikenang membuat hati gua merasa perasaan aneh. Kayak beneran balik ke masa itu. Visualisasi keadaan ruangan, orang-orang, suara-suara, bisa begitu menjelma. Terimakasi ingatan yang masih sangat bagus ini. Sekian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komen dong dong

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.