Selasa, 11 Agustus 2020

Review Buku "Bagaimana Saya Menulis" Bertrand Russell

Halo, kembali lagi di konten review buku. Entah kapan terakhir nulis review buku. padahal ini konten yang everlast gak sih? maksudnya, gak akan habis-habis karena akan terus ada buku baru. mungkin menarik ya untuk jadi konten blog berbayar saya, tapi akan mantap lagi kalau ditulis dalam bahasa inggris, agar jangkauannya lebih luas. bisa jadi konten youtube juga iyes.

jadi apakah yang akan saya bahas di review buku kali ini. Jadi, saya melihat buku ini diposting oleh seorang Ivan Lanin di Instagramnya. Saya sebetulnya belum lama menjadi follower beliau, yang mana sebelumnya nama Lanin terkadang melintas entah di mana, yang membuat saya merasa mungkin Ivan Lanin adalah sastrawan jadul asal Eropa. Dan ternyata beliau adalah pakar internet yang juga penulis dan masih sehat wal'afiat. Instagramnya juga sering mebahas tentang koreksi-koreksi kata yang bagus untuk manambah pengetahuan tentang menulis.

Dan sebagai followers yang setia, saya pun akan membaca apa yang ia rekomendasikan. Lalu suatu hari, ia posting tentang buku ini. Ia hanya memberitahu bahwa ia sedang membaca buku ini, tidak ada spoiler atau bahasan yang ia tuliskan tentang buku ini. Lalu, bagaikan penggemar yang cinta buta, saya langsung mencari buku ini.
Dari judulnya yang "Bagaimana Saya menulis" tentu saja ini adalah buku yang saya butuhkan, sebagaimana penulis awam. Mencari barang secondnya ternyata tidak ada, yang ketemu hanya barang barunya saja. setelah saya pastikan itu barang original dengan harga termurah, saya putuskan membeli dari toko online tersebut.

Saat bukunya sampai di rumah, dengan wajah berseri-seri, saya elus-elus dulu. Dan seperti yang sudah-sudah, setiap cover buku berwarna putih, pasti langsung saya sampul dulu sebelum dibaca. Selesai disampul, saya "diami" dulu beberapa saat, mencari waktu membaca yang tepat. Beberapa buku bisa menunggu sehari-dua hari untuk saya mulai membacanya. Dan kebanyakan buku lain menunggu ribuan hari untuk saya mulai membuka lembarannya.

Selayaknya buku yang berjudul "Bagaimana Saya Menulis" dalam harapan saya, berisi bermacam tips menulis, seperti, bagaimana menulis buku dalam semalam, atau bagaimana menulis sambil menggendong anak, sejenis itu. Saya masih memaklumi jika bab awal masih berisi tentang riwayat hidup beliau sendiri. Namun, mulai di bab-bab selanjutnya, saya mulai berpikir ulang, tentang apakah saya telah salah membeli buku? Karena buku ini bukan tentang tutorial menulis, tapi ternyata jauh melesat menjadi buku filsafat. Saya benar-benar hanya membeli karena tergiur judulnya, tanpa tahu siapakah Bertrand Russell ini. 

Entah bagaimana tidak nyambungnya ekspektasi saya, namun saya tetap membaca sampai habis, dengan bersusah payah memahaminya. Saya mengerti bahwa ini adalah buku terjemahan, menurut saya penerjemah sudah berusaha untuk menerjemahkan dengan semestinya. Mungkin juga telah memakai semudah-mudahnya kata. Namun, kemampuan berbahasa saya masih sangat minim sekali untuk bisa memahami berbagai istilah di dalam buku ini. Walau buku ini berjudul "Bagaimana Saya Menulis", pikiran saya terus saja berkutat dengan, bagaimana cara membacanya, memahaminya dan sibuk membuka kamus untuk menemukan bahwa bermacam kata di buku ini ternyata nihil di kamus murahan saya.
Ternyata membaca buku sulit macam ini, seperti ada sensasi 'Gila, gue baca buku filsafat, harus gue posting, nih!' demikian. Membuat kita merasa kepintaran meningkat beberapa derajat. 

Dari segi isi, ini adalah kumpulan esai-esai beliau. Tentang bagaimana pandangannya terhadap kehidupan dan terhadap orang-orang yang ia temui. Entah kenapa, saya pikir beliau orang yang cukup suka mengomentari orang lain atau memang hobi mendebat orang. Buku ini jadi seperti buku gibahan yang intelek. Ia mengupas tentang para filsuf lain, yang hanya saya ketahui dari buku pelajaran, seperti Aristoteles, Plato, Darwin. Mengomentari tentang ini-itu keganjilan teori para filsuf berfollower banyak itu, bahkan sesekali menyelipkan kata 'sinting'. Saya jadi tergelak, karena saya pribadi sangat merasa tidak layak, bahkan untuk mengolok Mimi peri, dengan akun bodong sekalipun. Namun, inilah yang orang intelek lakukan, mengulik Aristoteles dengan ringan saja, seperti membicarakan anak tetangga yang gagal ujian PNS.   

Dan kenyataan selanjutnya adalah, bahwa, orang sepintar Bertrand Russell ini ternyata mengalami pergolakan pikiran yang amat sangat tentang kehidupan ini. Seperti mencari-cari sesuatu yang tak kunjung ia temukan. Ia sangat tidak suka dengan suatu fakta yang aksioma, ia sangat menjunjung tinggi logika, sebagaimana ia dikenal sebelumnya, sebagai matematikawan. Saya juga tidak bisa memahami bagaimana beliau mencari logika kehidupan lewat matematika. Beranggapan bahwa tingkah laku manusia, takdir dan segala macam dalam hitungan matematis. Sungguh memang saya yang bodoh, begitu otak saya berkata, tiap membuka bab yang baru, mengingat ketika kelulusan SMA dulu, nilai matematika saya hanya 4,25. Dan pula tak kunjung mengerti apalah faedah mempelajari dua garis kurva yang saling tersinggung.

Namun sepertinya pencarian beliau tentang kehidupan tak kunjung menemui ujung. Ia bercerita tentang pemahamannya yang berubah-ubah sesuai fakta-fakta baru yang ia dapat. Sejenak ia percaya ini, sejenak ia yakin pada yang itu. Sungguh sulit di zaman itu, yang mana belum ada alat komunikasi mumpuni, yang membuat ia meneliti suatu hal yang ternyata sudah dipecahkan di negeri lain.

Mungkin ada beberapa tips menulis terselip juga di bagian bab tengah buku, dengan judul yang sesuai dengan cover depannya, Bagaimana saya menulis. Beberapa buah tips seperti, bubuhkan koma di setiap empat kata, dan jangan gunakan kata 'dan' selain di awal kalimat. Saya mencoba menerapkan itu di postingan ini, membubuhkan banyak koma. Dan saya rasa asyik juga membaca dengan banyak koma seperti itu, membuat pikiran kita membaca kata, dengan lebih bernada, serta berjeda.

Saya menemukan beberapa kekurangan dalam buku ini. Entah itu kesalahan tulis ataukah memang terjemah asli, namun tidak begitu mengganggu, karena tak mengubah esensi dalam membacanya, yakni soal penyebutan tahun. Beberapa kali beliau bercerita dengan tidak runut, bermula tahun sekian lalu tahun sekian, dan kembali lagi mundur ke tahun sekian. 

Dalam membaca buku, tentu kita bisa melihat isi pikiran penulis, karena buku adalah cerminan isi otak si penulis. Dalam buku ini juga saya mencoba menerka bagaimana karakter si penulis. Bertrand Russell dalam buku ini, saya melihat, ia tumbuh dengan sangat baik dari keluarga yang sangat cerdas. Bagaimana ia dibesarkan dengan buku-buku yang ia sendiri mengatakan, buku tebal yang cukup sulit dimengerti. Padahal bukunya yang saya baca ini juga sulit saya mengerti, walau tidak tebal. Dan bagaimana ia di umur sebelas tahun sudah mulai mengenal filsafat, di umur enam belas tahun sudah bisa mengungkapkan pendapatnya, membuat kita begitu iri karena di usia sebelas tahun, saya masih sibuk mengoleksi tazoz.

Namun, dari situ kita juga bisa melihat, bahwa beliau sering menuliskan tahun berapa ia berpikir begini dan begitu (kebanyakan usia mudanya), serta garis keturunan yang begitu baik, menunjukkan bagaimana ia memang ingin dianggap cerdas dari embrio. Sebagaimana saya juga sering bercerita bahwa saya memulai blogging dari 15 tahun lalu, mungkin saya pun ingin dikenal sebagai berpengalaman di bidang blogging, maybe.

Terakhir, saya pikir buku ini layak dibaca, apalagi untuk pemula seperti saya. Cukup untuk memanaskan otak. Alih-alih memahami isinya, lebih menarik untuk mempelajari bagaimana beliau bercerita. Polanya seperti, pembukaan dari pengalaman, lalu mulai masuk ke pembahasan dan mengungkapkan pendapat-pendapat pribadinya. Sejauh ini buku yang berjudul 'Bagaimana Saya Menulis' ternyata memang memberi perkembangan dalam cara menulis saya.

Namun catatan penting yang saya rasa perlu tuliskan, bahwa, membaca buku ini jangan teramat serius. Baca secara ringan saja seperti mengobrol dengan orang lain. Mendengarkan orang bercerita tanpa kita perlu terbawa. Karena buku ini ditulis oleh orang yang tidak menganut agama, akan ditemukan beberapa bantahannya tentang ajaran agama, yang mungkin akan mempengaruhi pikiran kita. 

Mungkin contoh yang patut kita tiru adalah semangat beliau dalam mencari ilmu. Tak hanya mencari ilmu, tapi beliau juga mencari tahu apakah ilmu itu benar adanya, atau disebut berpikir kritis. Mungkin kita semua pernah ada di dalam fase saat kita percaya mentah-mentah dengan teori Darwin, semata karena guru kitalah yang menyampaikan, maka kita percaya.

Mungkin hanya sekian dari tulisan saya, yang ternyata cukup panjang dari biasanya, dan mungkin lebih bermakna dari postingan lainnya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komen dong dong

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.